Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫مبطلات الصلاة‬‎
Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang hal-hal yang membatalkan shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
Shalat menjadi batal dan maksud daripadanya tidak tercapai karena melakukan salah satu dari perbuatan berikut:
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat, bahwa barang siapa yang makan dan minum dengan sengaja[i] dalam shalat fardhu, maka ia harus mengulangi shalatnya. Hal ini berlaku pula dalam shalat sunah menurut jumhur (mayoritas) ulama, karena semua yang dapat membatalkan shalat fardhu juga dapat membatalkan shalat sunah.” [ii]
2. Berbicara dengan sengaja bukan untuk maslahat shalat
Dari Zaid bin Arqam ia berkata, “Kami pernah berbicara ketika shalat, dimana salah seorang di antara kami berbicara dengan kawannya yang berada di sampingnya ketika shalat, maka turunlah ayat,
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” (Qs. Al Baqarah: 238)
sehingga kami diperintahkan diam dan dilarang berbicara.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, “Dahulu kami mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau shalat, lalu Beliau menjawab salam kami. Saat kami pulang dari Raja Najasyi, kami mengucapkan salam kepada Beliau, namun Beliau tidak menjawab salam kami, maka kami berkata, “Wahai Rasulullah, dahulu kami mengucapkan salam kepadamu dalam shalat, lalu engkau jawab salam kami (namun sekarang tidak)? Beliau bersabda,
إِنَّ فِي الصَّلاَةِ لَشُغْلاً
“Sesungguhnya dalam shalat terdapat kesibukan (yang menghalangi seseorang dari berbicara).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Namun jika seorang berbicara karena tidak tahu hukumnya atau lupa, maka shalatnya tetap sah. Dalilnya hadits di bawah ini:
Dari Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy ia berkata, “Saat aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tiba-tiba ada seorang yang bersin, lalu aku mengucapkan ‘Yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu), maka orang-orang memperhatikan diriku, lalu aku katakan, “Aduh, malang sekali ibuku! Mengapa kalian memperhatikan diriku?” Maka mereka memukulkan tangan mereka ke pahanya, dan saat diriku mengetahui bahwa mereka menyuruhku diam, maka aku pun diam. Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka biarlah ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, aku tidak pernah melihat sebelum dan setelahnya seorang pendidik yang lebih baik daripada Beliau. Demi Allah, Beliau tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak mencelaku, Beliau bersabda,
إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya shalat ini tidak layak ada ucapan manusia. Shalat itu isinya tasbih, takbir, dan bacaan Al Qur’an.” (Hr. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Dalam hadits tersebut Mu’awiyah bin Hakam berbicara karena tidak tahu hukumnya, sehingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyuruhnya mengulangi shalatnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat Zhuhur atau Ashar mengimami kami, lalu salam, kemudian Dzulyadain (seorang sahabat yang tangannya agak panjang) berkata kepada Beliau, “Apakah engkau mengqashar shalat atau lupa wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Shalat tidak diqashar dan aku tidak lupa.” Dzulyadain berkata, “Bahkan engkau lupa wahai Rasulullah.” Lalu Beliau bersabda (kepada para sahabat yang lain), “Apakah benar yang disampaikan Dzulyadain?” Para sahabat menjawab, “Ya.” Maka Beliau melakukan shalat dua rakaat lagi kemudian sujud dua kali. (Hr. Bukhari dan Muslim)
Ulama madzhab Maliki berpendapat bolehnya berbicara jika bertujuan memperbaiki shalat dengan syarat ucapannya tidak banyak menurut uruf (adat yang berlaku) dan ucapan tasbih tidak membuatnya faham.
Imam Al Auza’i berkata, “Barang siapa yang berbicara dalam shalatnya secara sengaja dengan maksud memperbaiki shalatnya, maka tidak batal shalatnya.”
Ia (Imam Al Auza’i) pernah berkata tentang orang yang shalat Ashar lalu menjaharkan bacaan Al Qur’annya, kemudian ada seorang yang berada di belakang berkata, “Ini shalat Ashar.” Maka tidak batal shalatnya.
3. Banyak melakukan gerakan dengan sengaja
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan sedikit-banyaknya gerakan. Ada yang berpendapat, bahwa disebut banyak gerakan adalah ketika ada orang lain yang melihatnya dari jauh menganggapnya tidak dalam keadaan shalat, selain itu dianggap sedikit. Ada pula yang berpendapat, bahwa disebut banyak gerakannya ketika memberikan kesan kepada orang yang melihatnya seakan-akan pelakunya tidak dalam keadaan shalat.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya perbuatan yang tidak termasuk pekerjaan shalat, jika banyak dilakukan dapat membatalkannya tanpa ada khilaf (di antara ulama), tetapi jika sedikit, maka tidak membatalkannya tanpa ada khilaf. Demikianlah batasannya.”
Para ulama juga berbeda pendapat tentang batasan sedikit dan banyaknya gerakan hingga timbul empat pendapat, namun yang dipilih Imam Nawawi adalah pendapat keempat, dan inilah yang menurutnya shahih dan masyhur. Ini pula yang menjadi pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yaitu bahwa dalam hal ini dikembalikan kepada uruf (adat yang berlaku), sehingga tidak masalah gerakan yang dianggap manusia sedikit, seperti berisyarat ketika menjawab salam, melepas sandal, mengangkat sorban dan meletakkannya, mengenakan pakaian ringan dan melepasnya, menggendong anak kecil atau menurunkannya, menolak orang yang lewat, menggosok ludah yang menimpa baju dan sebagainya[iii].
Adapun gerakan yang dianggap orang-orang banyak seperti langkah yang banyak dan berturut-turut  serta perbuatan yang banyak yang berturut-turut, maka dapat membatalkan shalat.
Imam Nawawi juga berkata, “Para ulama yang semadzhab sepakat, bahwa gerakan yang banyak hanyalah membatalkan apabila berturut-turut. Jika terdapat jeda, misalnya melangkah selangkah lalu diam sejenak, lalu melangkah lagi selangkah atau dua langkah, melangkah dua kali lagi yang terdapat jedanya, maka jika kita telah menyatakan, bahwa dua kali langkah tidaklah bermasalah apa-apa, dan itu berulang beberapa kali (dengan terdapat jedanya) sampai seratus langkah atau lebih, maka tidaklah membuat batal tanpa ada khilaf. Adapun gerakan yang ringan, seperti menggerakan jari pada saat menghitung tasbih, atau karena gatal, atau membuka dan mengikat, maka menurut pendapat yang shahih dan masyhur tidaklah membatalkan shalat meskipun banyak dan berturut-turut, akan tetapi hal itu makruh.
Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan, bahwa kalau sekiranya ia menghitung jumlah ayat dengan jari tangannya, maka tidak batal shalatnya. Akan tetapi lebih utama adalah meninggalkannya.
4. Meninggalkan rukun atau syarat shalat secara sengaja dan tanpa udzur.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada orang Arab badui yang tidak baik shalatnya,
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Kembalilah untuk shalat, karena kamu belum shalat.”
Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama sepakat, bahwa barang siapa yang shalat dalam keadaan tidak suci (berhadats), maka dia wajib mengulangi shalatnya baik ia sengaja maupun lupa.”
Demikian pula orang yang shalat tidak menghadap kiblat secara sengaja atau lupa.
Intinya, siapa saja yang meninggalkan salah satu syarat sahnya shalat, maka harus mengulangi shalatnya[iv].
Ulama madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat tentang bolehnya memutuskan shalat ketika khawatir ada hartanya atau harta orang lain yang hilang meskipun sedikit, atau seorang ibu khawatir terhadap anaknya, atau anaknya merasa sakit dengan menangis, atau ketika periuk dikhawatirkan tumpah karena mendidih, atau hewan kendaraannya dikhawatirkan lari, dsb.
5. Senyum dan tertawa dalam shalat
Ibnul Mundzir menukil adanya ijma tentang batalnya shalat karena tertawa. Imam Nawawi berpendapat, bahwa hal itu jika jelas dua huruf dari tertawa itu.
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa senyum tidak mengapa. Dan jika seorang tidak mampu menahan tawa karena dorongannya begitu kuat, maka shalatnya tidak batal jika sedikit, dan jika banyak tawa itu akan membuatnya batal. Sedangkan ukuran banyak atau sedikitnya tertawa kembali kepada uruf.
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa shalat tidaklah batal karena makan atau minum yang disebabkan lupa atau tidak tahu hukumnya. Demikian pula tidak batal ketika di antara gigi-giginya ada sisa-sisa makanan yang kecil di bawah ukuran kacang, lalu ia telan.
[ii]  Dari Thawus dan Ishaq, bahwa tidak mengapa minum karena itu adalah perbuatan yang ringan. Disebutkan dari Sa’id bin Jubair dan Ibnuz Zubair, bahwa keduanya minum ketika shalat sunah.
[iii] Telah disebutkan sebelumnya pembahasan tentang hal-hal yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam shalat atau diperintahkannya seperti membunuh dua binatang hitam, dsb.
[iv]  Perlu diketahui, bahwa tidak boleh bagi orang yang shalat melakukan perkara yang dapat merusak shalatnya tanpa uzur. Jika ada sebab, seperti menolong orang yang tertimpa bencana atau menyelamatkan orang yang tenggelam, dan sebagainya, maka ia boleh keluar dari shalat.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger