Hukum Memperingati Hari Valentin

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫فتوى عن عيد الحب‬‎
Hukum Memperingati Hari Valentin
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang hukum memperingati hari Valentin yang kami terjemahkan dari situs Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid (https://islamqa.info/ar/73007), semoga Allah menjadikan penerjemahan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pertanyaan:
Apa hukum memperingati hari kasih sayang atau hari Valentin?
Jawab:
Segala puji bagi Allah.
Pertama, hari kasih sayang adalah hari raya bangsa Roma jahiliyah. Hari tersebut tetap diperingati setelah bangsa Roma masuk ke dalam agama Nasrani. Hari itu juga dikaitkan dengan seorang pendeta bernama Valentin yang dihukum mati pada tanggal 14 Februari tahun 270 M. Hari tersebut tetap diperingati hingga sekarang oleh orang-orang kafir sambil melakukan berbagai kemaksiatan dan kemungkaran di dalamnya.
Kedua, tidak diperkenankan bagi seorang muslim memperingati hari apa pun milik orang-orang kafir, karena hari raya termasuk masalah syariat; yang wajib bagi kita mengikuti apa yang disebutkan oleh nash (syariat Islam).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hari raya termasuk masalah syariat, manhaj, dan bentuk ibadah, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentangnya,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Qs. Al Maidah: 48)
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ
“Bagi setiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan.” (Qs. Al Hajj: 67)
Yakni seperti arah kiblat, shalat, dan puasa. Tidak ada perbedaan (dalam hal haramnya) baik ikut serta dalam hari raya mereka maupun ikut serta dalam kegiatan keagamaan mereka, karena mengikuti semua hari raya mereka sama saja mengikuti kekufuran mereka. Mengikuti sebagian cabangnya, juga sama saja mengikuti sebagian cabang kekufuran. Bahkan hari raya merupakan bagian syariat yang istimewa, dan sebagai syiar yang paling tampak. Oleh karena itu, mengikuti hari raya tersebut sama saja mengikuti syariat kufur yang khusus dan menampakkan syiar-syiarnya. Dan tidak diragukan lagi, bahwa mengikuti hari raya itu secara garis besar bisa membawa kepada kekufuran.
Adapun bagian awalnya, maka keadaan paling minimnya adalah sebagai maksiat. Terhadap perkara khusus ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berisyarat dengan sabdanya,
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَهَذَا عِيدُنَا
“Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.”
Bahkan hal ini lebih buruk daripada menyerupai mereka mengenakan sabuk (di atas gamis yang merupakan pakaian khusus kafir dzimmiy) dan semisalnya yang menjadi ciri khas mereka, karena tanda tersebut adalah tanda buatan yang bukan bagian dari agama, dimana maksudnya adalah membedakan antara muslim dengan kafir. Adapun hari raya orang kafir dan sesuatu yang mengiringinya merupakan bagian dari agama dimana pelakunya serta kegiatan memperingatinya adalah sesuatu yang menghasilkan celaan. Mengikutinya berarti mengikuti ciri khusus mereka yang mengakibatkan pelakunya mendapatkan kemurkaan dari Allah dan siksa-Nya.” (Iqtidha Ash Shirathil Mustaqim 1/207).
Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata, “Tidak halal bagi kaum muslimin menyerupai mereka (kaum kafir) dalam segala sesuatu yang terkait hari raya mereka secara khusus, baik dalam hal makan, pakaian, mandi, menyalakan api, menghilangkan kebiasaan karenanya baik bekerja maupun beribadah, dan sebagainya. Demikian pula tidak halal mengadakan jamuan khusus, pemberian hadiah, dan jual beli yang di dalamnya membantu peringatan itu, serta tidak boleh memberikan kesempatan kepada anak-anak dan selain mereka menggunakan mainan yang khusus hari raya mereka, serta menampilkan perhiasannya karena hal itu.
Singkatnya, mereka tidak boleh mengkhususkan hari raya kaum kafir dengan melakukan satu pun dari syiar-syiar mereka, bahkan bagi kaum muslimin hari raya mereka seperti hari raya biasa, tidak diistimewakan sama sekali oleh kaum muslimin.” (Majmu Fatawa 25/329)
Al Hafizh Adz Dzahabiy rahimahullah juga berkata, “Jika kaum Nasrani punya hari raya, kaum Yahudi punya hari raya, dimana mereka mengistimewakan hari itu, maka tidak boleh seorang muslim ikut serta memperingatinya, sebagaimana ia tidak boleh ikut serta dalam syariat dan kiblat mereka.” (Dari risalah Tasyabbuhul Khasis bi Ahlil Khamis).
Adapun hadits yang disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas diriwayatkan oleh Bukhari (952) dan Muslim (892) dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Suatu ketika Abu Bakar masuk menemuiku, ketika itu di dekatku ada dua anak gadis orang Anshar yang sedang bernyanyi seperti yang dilakukan kaum Anshar pada hari Bu’ats, namun keduanya bukanlah penyanyi, lalu Abu Bakar berkata, “Apakah nyanyian setan ada di rumah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?!” Saat itu adalah hari raya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.”
Abu Dawud (no. 1134) juga meriwayatkan dari Anas radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah, pada saat itu penduduknya memiliki dua hari yang mereka bersuka ria padanya, maka Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Kami bersuka ria padanya di masa Jahiliyyah.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الأَضْحَى ، وَيَوْمَ الْفِطْرِ
 “Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua hari itu dengan yang lebih baik daripadanya, yaitu Idul Adh-ha dan Idul Fitri.” (Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Hadits di atas menunjukkan bahwa hari raya merupakan kekhususan masing-masing umat. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan memperingati hari raya Jahiliyyah dan hari raya kaum musyrik.
Para ulama juga telah memfatwakan keharaman memperingati hari kasih sayang atau hari Valentin.
Fatwa Ulama tentang peringatan hari Valentin
1. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut:
Di akhir-akhir ini tersebar peringatan hari kasih sayang terutama di tengah-tengah para siswi, padahal hari tersebut termasuk hari raya kaum Nasrani. Ketika itu mode yang ditampilkan berwarna merah, baik dalam pakaian maupun sepatu, dan mereka saling bertukar bunga merah. Kami berharap Anda menerangkan hukum peringatan hari raya ini, serta apa nasihat Anda untuk kaum muslimin dalam masalah seperti ini, semoga Allah menjaga dan memelihara Anda.
Syaikh menjawab, “Memperingati hari kasih sayang tidak diperbolehkan karena beberapa alasan, di antaranya:
Pertama, itu adalah hari raya bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam syariat.
Kedua, hari raya tersebut mengajak kepada kecintaan dan cumbu rayu.
Ketiga, hari raya tersebut juga membuat hati disibukkan oleh perkara rendah seperti ini yang menyelisihi petunjuk kaum salaf saleh terdahulu radhiyallahu anhum.
Oleh karena itu, tidak boleh melakukan pada hari ini sesuatu yang merupakan syiar hari raya mereka baik dalam hal makan, minum, pakaian, saling memberi hadiah, dsb.
Demikian pula seorang muslim hendaknya bangga dengan agamanya dan tidak mudah ikut kepada semua propaganda. Saya minta kepada Allah Ta’ala agar Dia melindungi kaum muslimin dari segala fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi, serta membimbing kita dengan petunjuk dan taufik-Nya.” (Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 16/199)
2. Lajnah Daimah (komite tetap bidang fatwa, KSA no. 5324 tanggal 3/11/1420 H) pernah ditanya,
Sebagian orang pada tanggal 14 Februari pada setiap tahun masehi memperingati hari kasih sayang (Valentin Day), mereka saling berbagi bunga mawar merah, mengenakan pakaian merah, mengucapkan selamat, dan sebagian toko menjual manisan berwarna merah, membuat gambar hati (love) padanya, dan bahkan sebagian toko mengiklankan pada barangnya hari Valentin ini, maka apa pendapat Anda berkenaan dengan:
Pertama, memperingati hari tersebut,
Kedua, membeli barang itu di toko-toko pada hari tersebut,
Ketiga, sikap sebagian penjual yang tidak mengikuti peringatan itu namun menjual barang itu kepada orang yang akan memperingatinya pada hari itu?
Jawab:
Dalil yang tegas dari Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma kaum salaful ummah menunjukkan, bahwa hari raya dalam Islam hanya dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adh-ha, selain itu baik terkait dengan seorang tokoh, kelompok tertentu, atau peristiwa tertentu, atau sehubungan dengan hal tertentu, maka merupakan hari raya yang diada-adakan. Tidak boleh bagi kaum muslimin melakukannya, menyetujuinya, menampakkan suka ria terhadapnya, serta membantu kegiatan itu, karena hal itu termasuk melanggar batasan Allah, dan barang siapa yang melanggar batasan Allah, maka berarti ia telah menzalimi dirinya. Apalagi jika ternyata hari raya buatan itu termasuk hari raya kaum kafir, maka ini merupakan dosa ditambah dosa, karena di dalamnya terdapat bentuk tasyabbuh (menyerupai) kaum kafir dan salah satu bentuk wala (loyalitas) kepada mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kaum mukmin bertasyabbuh dan berwala dengan mereka dalam kitab-Nya yang mulia. Telah shahih pula dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (Hr. Ahmad, Abu Ya’la, dan Thabrani, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 2831)
Hari kasih sayang termasuk yang disebutkan di atas, karena ia adalah hari raya paganisme Nasrani, sehingga tidak boleh bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melakukan hal tersebut, mengakuinya, atau mengucapkan selamat. Bahkan wajib meninggalkannya dan menjauhinya sebagai bentuk menyambut panggilan Allah dan Rasul-Nya, serta menjauhi sebab yang mendatangkan kemurkaan Allah dan azab-Nya sebagaimana diharamkan pula bagi seorang muslim membantu hari raya tersebut atau hari raya semisalnya yang terlarang, baik dengan ikut makan dan minum, menjual-belikan, membuatkan, memberikan hadiah, mengirim surat, mengiklankan, dan sebagainya, karena itu semua termasuk tolong-menolong dalam perbuatan  dosa dan permusuhan, serta kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, sedangkan Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (Qs. Al Maidah: 2)
Seorang muslim juga wajib berpegang dengan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya dalam setiap keadaannya, apalagi pada waktu dimana fitnah dan kerusakan merebak. Ia juga hendaknya cerdas dan waspada dari jatuh ke dalam kesesatan orang-orang yang dimurkai (Yahudi) dan orang-orang yang sesat (Nasrani), serta orang-orang fasik yang tidak takut kepada Allah dan tidak peduli terhadap Islam.
Seorang muslim juga harus kembali kepada Allah Ta’ala meminta hidayah-Nya dan agar tetap teguh di atasnya, karena tidak ada yang dapat memberikan hidayah selain Dia, dan tidak ada yang dapat memberikan keteguhan selain Dia, Mahasuci Dia, dan kepada-Nya kita memohon taufik. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.”
(Lajnah Daimah, ketua: Abdul Aziz bin Abdullah Alusy Syaikh, anggota: Shalih bin Fauzan, Abdullah bin Abdurrahman Al Ghudayyan, Bakr bin Abdullah Alu Zaid)
3. Syaikh Ibnu Jibrin hafizhahullah pernah ditanya,
“Telah tersebar di tengah pemuda-pemudi kita sebuah peringatan yang dikenal dengan nama hari kasih sayang (Hari Valentin), dimana Valentin adalah nama seorang pendeta yang dimuliakan oleh orang-orang Nasrani. Mereka biasa memperingatinya pada tanggal 14 Februari di setiap tahunnya, serta membagikan hadiah dan bunga mawar merah, serta mengenakan pakaian berwarna merah, apa hukum memperingati hari tersebut atau tukar-menukar hadiah serta bersukaria pada hari itu?”
Jawab:
Pertama, tidak boleh memperingati hari raya yang diada-adakan semacam ini, karena ia merupakan bid’ah yang diada-adakan yang tidak memiliki dasar dalam syariat, sehingga terkena hadits Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami ini yang bukan daripadanya, maka ia tertolak.” Yakni dikembalikan kepada pelakunya (tidak diterima).
Kedua, di dalamnya terdapat bentuk tasyabbuh (menyerupai) kaum kafir serta mengikuti jejak mereka dalam mengagungkan apa yang mereka agungkan, serta memuliakan hari raya dan kegiatan khusus mereka, demikian juga menyerupai mereka dalam hal yang menjadi bagian dari agama mereka, sedangkan dalam hadits disebutkan, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
Ketiga,  terdapat berbagai mafsadat dan madharat yang dihasilkan daripadanya seperti hal yang sia-sia, bernyanyi, memainkan musik, bersikap sombong dan membanggakan diri, membuka wajahnya, menampilkan kecantikan dirinya, bercampur-baur pria dan wanita, atau tampilnya kaum wanita di hadapan lelaki yang bukan mahram, serta perkara haram lainnya, atau menjadi sarana yang bisa mengantarkan kepada perbuatan keji atau sebagai sebabnya. Dengan demikian, kegiatan tersebut tidak bisa dibenarkan meskipun berdalih dengan sekedar hiburan, bersenang-senang, dan merasa mampu menjaga diri, alasan ini tidak benar. Oleh karena itu, bagi mereka yang kasihan terhadap dirinya hendaknya menjauhi dosa dan segala pengantarnya.
Beliau juga berkata, “Oleh karena itu, tidak boleh menjual-belikan hadiah dan bunga (berkaitan dengannya) jika diketahui, bahwa si pembeli akan menggunakannya untuk acara itu atau menghadiahkannya atau untuk memuliakan hari itu, agar penjual tidak ikut serta dengan mereka yang melakukan perkara bid’ah ini, wallahu a’lam.”
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Penerjemah:
Marwan bin Musa

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger