Ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah (4)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫عقيدة أهل السنة والجماعة‬‎
Ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tentang memastikan masuk surga dan neraka
16. Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak memastikan seseorang masuk surga atau neraka, kecuali yang dinyatakan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi mereka berharap orang yang berbuat kebaikan akan masuk surga dan mengkhawatirkan orang yang berbuat jahat akan masuk neraka.
Ahlus Sunnah wal Jamaah juga tidak menyatakan seseorang kafir, musyrik, atau munafik  selama tidak menampakkan demikian, dan mereka menyerahkan hal yang tersembunyi kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
Tentang Akhlak
17. Ahlus Sunnah wal Jamaah memberikan sikap tulus kepada Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin[i].
Ahlus Sunnah wal Jamaah mengajak manusia berakhlak mulia dan melarang berakhlak tercela. Ahlus Sunnah menyuruh berbakti kepada kedua orang tua, melakukan silaturrahim, berbuat baik kepada tetangga, budak dan berbuat baik kepada semua manusia. Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa orang mukmin yang paling sempurna iman dan keyakinannya adalah orang yang paling baik amalnya dan akhlaknya serta paling jujur ucapannya, paling dekat dengan kebaikan dan keutamaan serta paling jauh dari keburukan dan kehinaan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah juga berusaha menegakkan ajaran Islam dalam diri, keluarga, dan masyarakatnya.
Dalam masalah Jihad
18. Ahlus Sunnah wal Jamaah memandang bahwa jihad fii sabiilillah tetap berlaku bersama ulil amri, dan Jihad adalah puncak agama. Jihad bisa berupa jihad ilmu dan hujjah (menyampaikan ilmu dan menegakkan hujjah), inilah jihad yang pertama, maupun jihad silah (dengan senjata/berperang). Jihad dalam arti membela agama hukumnya wajib bagi setiap muslim sesuai kemampuannya.
Menggalang persatuan
19.Ahlus Sunnah wal Jamaah mendorong untuk menyatukan kaum muslimin, mendekatkan hati dan melembutkannya, serta berusaha menjauhkan umat dari perpecahan, permusuhan, dan kebencian dengan berbagai cara yang bisa mengantarkan ke arah tersebut.
Menjaga kehormatan seorang muslim
20. Ahlus Sunnah wal Jamaah melarang menyakiti dan mengganggu orang lain, baik darah, harta maupun kehormatan dan seluruh haknya. Mereka  juga menyuruh bersikap adil dan inshaf (jujur, sadar dan menerima) dalam setiap mu’amalah (pergaulan), juga menganjurkan berbuat ihsan dan melebihkan.
Umat yang paling utama
21.Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa umat yang paling utama adalah umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling utama adalah para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, khususnya para khulafa raasyidin (Abu Bakr, Umar, Utsman dan ‘Ali radhiyallahu 'anhum) dan sepuluh orang yang dijamin masuk surga[ii], juga para sahabat yang ikut dalam perang Badar, para sahabat yang menghadiri Bai’atur Ridhwan, dan para sahabat yang terdahulu masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai para sahabat dan mendoakan taradhdhiy (radhiyallahu ‘anhum) untuk mereka, itulah sikap mereka dalam beragama.
       Ahlus Sunnah wal Jamaah menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dan mendiamkan kekeliruan mereka serta menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara mereka. Ahlus Sunnah wal Jamaah yakin bahwa mereka tidak ma’shum dan mereka melakukan hal itu karena ijtihadnya, yang benar mendapat dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala.
Mereka (para sahabat) memiliki keutamaan yang menghilangkan keburukan yang terjadi di antara mereka jika memang terjadi, sebagaimana ombak akan menghilangkan kotoran.
Tentang karamah
22.Ahlus Sunnah wal Jamaah juga mengimani adanya karamah (keistimewaan) bagi wali-wali Allah, namun tidak setiap hal yang luar biasa dikatakan karamah, bisa saja sebagai istidraj (sebagai penangguhan azab baginya). Cara membedakan antara karamah dan istidraj adalah dengan melihat keadaan orang tersebut apakah dia di atas Akidah yang benar, di atas ibadah yang sesuai Sunnah, akhlak yang mulia atau tidak ?
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَمْشِي عَلَى الْمَاءِ أَوْ يَطِيْرُ فِي الْهَوَاءِ فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ وَلاَ تَغْتَرُّوْا بِهِ حَتَّى تَعْلَمُوْا مُتَابَعَتَهُ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Apabila kamu melihat ada seseorang yang berjalan di atas air atau terbang di udara, maka janganlah kamu membenarkannya dan jangan pula tertipu olehnya sampai kamu mengetahui bahwa ia mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Perlu diketahui bahwa tidak diberikan-Nya karamah kepada seorang hamba bukanlah berarti kurang imannya. Hal itu, karena Karamah yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya karena beberapa sebab, antara lain: 1) Untuk menguatkan dan mengokohkan imannya, 2) Untuk menegakkan hujjah terhadap musuhnya. Demikian juga karaamah itu terjadi tidak sesuai keinginan seseorang tetapi terjadi apabila dikehendaki Allah Ta’ala.[iii]
Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, kaum mukminin itu adalah wali Allah, tingkat kewaliannya tergantung tingkat keimanannya.
Menghormati ulama
23.Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam beragama menghormati dan memuliakan ulama[iv]; a’immatul huda (imam-imam yang berada di atas petunjuk), dan orang yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama dan keutamaan[v]. Mereka mengikuti pendapat mereka selama tidak menyalahi ketegasan Al Qur’an dan As Sunnah, namun tidak ta’ashshub (fanatik). Mereka mengetahui betapapun tingginya kedudukan seseorang, namun ia bisa salah[vi]. Mereka hanya ta’ashshub/fanatik kepada firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Contoh memuliakan ulama adalah mencintai mereka, memintakan ampunan, dan rahmat untuk mereka, mengakui keutamaan mereka, menyebutkan kebaikan mereka dan tidak mencela kata-kata dan pendapat mereka[vii]. Mereka adalah mujtahid, jika benar ijtihadnya mendapatkan dua pahala dan jika salah mendapatkan satu pahala[viii].
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa


[i] Sikap tulus kepada Allah di antaranya adalah dengan beriman kepada-Nya, hanya beribadah kepada-Nya dan tidak berbuat syirik, mengerjakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, cinta karena-Nya dan benci pun karena-Nya, mencintai orang yang mencintai-Nya dan membenci orang yang memusuhi-Nya (seperti orang-orang kafir), berjihad terhadap orang yang kafir kepada-Nya, mengakui nikmat-Nya dan bersyukur kepada-Nya.
Sikap tulus kepada kitab-Nya di antaranya adalah dengan mengimaninya bahwa ia adalah firman Allah bukan makhluk, diturunkan dari Allah dan tidak sama dengan perkataan manusia, memuliakannya, membaca dengan sebenar-benarnya disamping memperbagus suara ketika membacanya, khusyu’ ketika membacanya, membenarkan isinya, mengambil pelajaran darinya, merenungi isinya, mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (jelasnya), dan mengimani yang mutasyabihatnya.
Sikap tulus kepada Rasul-Nya shallallahu’alahi wa sallam antara lain mengimani bahwa ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya, serta mengamalkan konsekwensi dari beriman kepadanya dengan mengerjakan perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan sabdanya, dan beribadah kepada Allah sesuai contohnya.
Sikap tulus kepada pemerintah Islam, meskipun ia zhalim –selama tidak melakukan kekufuran yang jelas- di antaranya adalah menaati mereka selama perintahnya bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak memberontak terhadap mereka, menasihati mereka dengan halus (seperti secara rahasia), mendoakan kebaikan untuk mereka agar mereka dijaga Allah dari ketergelinciran dan diperbaiki keadaannya. Demikian juga berjihad di belakang mereka serta shalat Jum’at, ‘Ied dan shalat Jamaah bersama mereka. Termasuk sikap yang tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim adalah menjelek-jelekkan mereka dan menghina mereka.
Sedangkan sikap tulus kepada seluruh kaum muslimin di antaranya adalah menginginkan kebaikan untuk mereka, membimbing mereka ke arah kebaikan dunia dan akhirat, dan melakukan amr ma’ruf dan nahi-mungkar.
[ii] Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad, Sa’id, Abdurrahman bin ‘Auf dan Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah radhiyallahu 'anhum ajma’iin.
[iii] Sebagaimana dijelaskan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah.
[iv] Ulama ibarat orang tua kita, di mana mereka berusaha membimbing kita agar kita dapat menempuh jalan yang lurus. Mereka rela menghabiskan umur mereka untuk menjaga agama ini, jasa-jasa mereka terhadap agama ini patut disyukuri. Mereka memiliki ilmu yang dalam tentang agama ini dan memiliki pengalaman. Sehingga, merekalah yang berhak untuk berijtihad. Oleh karena itu, jika kita dihadapkan tentang suatu masalah yang tidak ada ketegasannya dalam Al Qur’an atau As Sunnah, bertanyalah kepada mereka agar kita tidak salah dalam melangkah. Berbeda dengan kita, dengan usia yang masih muda, pengalaman belum cukup dan ilmu yang kurang, jika kita lepas dari bimbingan mereka, dikhawatirkan akan salah melangkah. Terkadang mereka memberi fatwa yang dipandang secara sekilas oleh kita kurang tepat, padahal di balik itu ada kebaikan yang besar bagi kita, hanya karena kurangnya pengalaman kita sehingga kita belum mampu menjangkaunya. Demikianlah kiranya nasehat kami kepada para pemuda penuntut ilmu.
[v] Seperti para qari’, para fuqaha (ahli fiqh), para muhadditsin (ahli hadits), dan para mufassirin (ahli tafsir).
[vi] Oleh karena itu, kebenaran mutlak hanya pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
[vii] Bagaimana mereka dicela karena ijtihadnya yang keliru?! Bukankah mereka telah mengorbankan pikiran dan tenaga untuk mencari yang hak (kebenaran) dengan kesungguhan hatinya? Sedangkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman “Maa ‘alal muhsiniin min sabiil” (QS. At Taubah: 91) yakni tidak mungkin orang yang berbuat ihsan ditujukan celaan.
[viii] Kekeliruan yang terjadi pada diri mereka bukanlah karena kesengajaan, akan tetapi terjadi karena kelalaian, lupa, atau pun karena belum sampainya hadits. 

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger