Sunah-Sunah Shalat (10)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫سنن الصلاة‬‎
Sunah-Sunah Shalat (10)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sunah-sunah shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
17. Tasyahhud Awwal
Jumhur ulama berpendapat, bahwa tasyahhud awwal hukumnya sunah. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Buhainah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah langsung bangkit pada shalat Zhuhur yang seharusnya Beliau duduk. Ketika Beliau menyempurnakan shalatnya, maka Beliau melakukan sujud dua kali sebelum salam; dimana Beliau bertakbir pada setiap kali sujud saat posisi duduk, dan manusia ikut bersujud bersama Beliau karena Beliau lupa tidak duduk (tasyahhud awwal). (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Dalam Subulus salam diterangkan, bahwa dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa meninggalkan tasyahhud awwal karena lupa dapat ditutupi dengan sujud sahwi.
Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “Ibnu Baththal berkata, “Dalil bahwa sujud sahwi tidak dapat menggantikan perkara yang wajib adalah bahwa jika seseorang lupa takbiratul ihram, maka tidak dapat ditutupi dengannya. Demikian pula tasyahhud, dan karena ia merupakan dzikr yang tidak dijaharkan, sehingga tidak wajib sebagaimana doa istiftah.” Ulama yang lain berhujjah dengan taqrir (persetujuan Beliau) shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap manusia saat mereka mengikuti Beliau setelah Beliau mengetahui, bahwa mereka sengaja meninggalkannya. Namun dalam hal ini perlu ditinjau kembali.”
Namun sabda Beliau, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku shalat,” menunjukkan wajibnya tasyahhud awwal. Demikian pula perintah ditutupi dengan sujud sahwi jika ditinggalkan menunjukkan, bahwa perbuatan ini meskipun wajib, namun dapat ditutupi oleh sujud sahwi. Hal ini menunjukkan wajibnya.
Di antara ulama yang berpendapat wajibnya tasyahhud awwal adalah Al Laits bin Sa’ad, Ishaq, Ahmad menurut pendapat yang mayshur, dan ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i serta menjadi salah satu pendapat di kalangan ulama madzhab Hanafi.
Imam Thabrani berhujjah terhadap wajibnya tasyahhud awwal karena shalat pada awalnya diwajibkan dua rakaat, dan tasyahhud pada saat itu hukumnya wajib. Ketika ditambah jumlah rakaatnya, maka tambahan itu tidaklah menghilangkan kewajibannya.
Anjuran ringan (sebentar) dalam tasyahhud awwal
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk pada dua rakaat pertama, maka Beliau duduk seakan-akan di atas batu yang panas (menunjukkan hanya sebentar).” (HR. Ahmad dan para pemilik kitab Sunan. Tirmidzi berkata, “Hadits hasan, hanyasaja Abu Ubaidah tidak mendengar dari ayahnya.” Hadits ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani).
Tirmidzi berkata, “Inilah yang dipraktekkan di kalangan Ahli Ilmu, mereka memilih agar seseorang idak memperlama duduk pada rakaat kedua; yakni tidak menambahkan apa-apa setelah bertasyahhud.”
Ibnul Qayyim berkata, “Tidak ada nukilan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bershalawat untuk dirinya dan keluarganya pada tasyahhud awwal, dan tidak pula Beliau berlindung dari azab kubur, azab neraka, fitnah hidup, fitnah mati, dan fitnah Al Masih Ad Dajjal ketika ini. Orang yang menganjurkannya hanyalah memahami dari keumuman dan kemutlakan. Padahal telah shahih tempat untuk dibacanya, yaitu di tasyahhud akhir.”
18. Bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dianjurkan bagi seorang yang shalat bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat tasyahhud akhir, yaitu dengan menggunakan salah satu di antara bentuk shalawat seperti yang disebutkan di bawah ini:
a. Dari Abu Mas’ud Al Badriy ia berkata, “Basyir bin Sa’ad pernah berkata, “Wahai Rasulullah, Allah memerintahkan kami bershalawat kepadamu, maka bagaimana cara kami bershalawat kepadamu?” Beliau pun diam kemudian bersabda, “Ucapkanlah,
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيْدٌ
"Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan berikanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berikan keberkahan kepada keluarga Ibrahim di seluruh alam, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia."
Kemudian mengucapkan salam sebagaimana yang kalian ketahui.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Catatan:
Shalawat Allah kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pujian-Nya untuk Beliau, ditunjukkan-Nya keutamaan dan kemuliannya, serta didekatkan dengan-Nya.
Keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mereka yang diharamkan menerima zakat, yaitu Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Ada yang mengatakan, bahwa mereka adalah istrinya dan keturunannya. Ada yang mengatakan, bahwa mereka adalah umatnya dan pengikutnya hingga hari Kiamat. Ada pula yang mengatakan, bahwa mereka adalah umatnya yang bertakwa. Menurut Ibnul Qayyim, bahwa pendapat pertama itulah yang benar, selanjutnya pendapat yang kedua, dan ia melemahkan pendapat ketiga dan keempat. Akan tetapi menurut Imam Nawawi, bahwa yang paling tampak, dan ini merupakan pendapat Al Azhari dan para peneliti lainnya, bahwa mereka adalah semua umat ini, wallahu a’lam.
b. Dari Ka’ab bin Ujrah ia berkata, “Kami pernah berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana kami mengucapkan salam kepadamu, lalau bagaimana cara kami bershalawat kepadamu?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
"Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berilah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberikan keberkahan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia." (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dipandang sunah dan tidak wajib adalah berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan ia menshahihkannya, demikian pula diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, yaitu dari Fudhalah bin Ubaid, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang berdoa dalam shalatnya, namun ia tidak bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang ini terburu-buru.” Kemudian Beliau memanggilnya, lalu Beliau bersabda kepadanya atau kepada yang lain,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ، ثُمَّ لْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ لْيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka hendaknya ia memulai dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu hendaknya ia berdoa setelah itu sesuai kehendaknya.”
Penyusun kitab Al Muntaqa berkata, “Dalam hadits tersebut tedapat hujjah bagi orang yang berpendapat bahwa shalawat itu tidak wajib, karena Beliau tidak menyuruh orang itu mengulangi lagi shalatnya. Hal ini juga dikuatkan oleh hadits Ibnu Mas’ud setelah menyebutkan lafaz Tasyahhud, “Selanjutnya ia memilih permintaan yang ia mau.”
Imam Syaukani berkata, “Tidak ada yang sah di sisiku alasan yang dipakai oleh mereka yang mengatakan wajibnya shalawat.”
18. Berdoa setelah tasyahhud akhir dan sebelum salam
Dianjurkan berdoa setelah tasyahhud dan sebelum salam sesuai yang ia inginkan berupa kebaikan dunia dan akhirat.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para sahabat) tasyahhud, kemudian di akhirnya Beliau bersabda, “Kemudian hendaknya engkau pilih permintaan yang engkau kehendaki.” (HR. Muslim)
Berdoa secara mutlak hukumnya dianjurkan, baik yang diambil dari hadits atau atsar/riwayat maupun bukan, hanyasaja berdoa yang diambil dari hadits tentu lebih utama. Berikut ini kami sebutkan beberapa doa yang diambil dari hadits (ma’tsur), yaitu:
a. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الْآخِرِ، فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Apabila salah seorang di antara kami selesai dari tasyahhud akhir, maka hendaknya ia berlindung keada Allah dari empat hal, yaitu: dari azab Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah (ujian) hidup dan mati, dan dari fitnah Al Masih Ad Dajjal.” (HR. Muslim)
b. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dalam shalat,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ المَسِيحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا، وَفِتْنَةِ المَمَاتِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ المَأْثَمِ وَالمَغْرَمِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Al Masih Ad Dajjal. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah (cobaan) hidup dan fitnah kematian. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.”
Lalu ada seorang yang bertanya kepada Beliau, “Alangkah seringnya engkau berlindung dari hutang?” Maka Beliau bersabda, “Sesungguhnya seseorang ketika berhutang apabila berbicara berdusta dan apabila berjanji mengingkari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Dari Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri shalat, maka akhir yang Beliau baca antara tasyahhud dan salam adalah,
اللهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, ampunilah kesalahan yang kulakukan baik yang terdahulu maupun yang dating kemudian, yang aku sembunyikan dan yang aku tampakkan, serta sikap berlebihan dari diriku, demikian pula perbuatan dosa (yang kulakukan) yang Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku. Engkau yang memajukan dan mengundurkan. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Muslim)
d. Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ajarkanlah aku sebuah doa yang aku baca dalam shalatku.” Beliau bersabda, “Ucapkanlah,
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا، وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Ya Allah, aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau, maka berilah aku ampunan dari sisi-Mu dan sayangilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh S. Sabiq), Shifat Shalatin Nabi (M. Nashiruddin Al Albani), Al Hidayah fi Masaa’il Fiqhiyyah Muta’aridhah (Aceng Zakaria), Maktabah Syamilah versi 345, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger