Kaum Salaf Menghadapi Fitnah (Cobaan) Dari Penguasa


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫أين نحن من أخلاق السلف‬‎
Kaum Salaf Menghadapi Fitnah (Cobaan) Dari Penguasa
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum Salaf menghadapi fitnah (cobaan) dari penguasa yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas ditulis karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf menghadapi fitnah (cobaan) dari Penguasa
Dari Al A’masy, dari Malik bin Al Harits, dari Abdurrahman bin Yazid, ia berkata, “Kami pernah berkata kepada Alqamah, “Bagaimana kalau sekiranya engkau shalat di masjid, lalu kami belajar kepadamu, kemudian engkau ditanya?” Ia menjawab, “Aku tidak suka kalau disebut, “Inilah Alqamah.” Mereka berkata, “Bagaimana kalau sekiranya engkau mendatangi para penguasa?” Ia menjawab, “Aku khawatir mereka mengurangi hakku melebihi haknya yang kukurangi.” (Siyar A’lamin Nubala 4/58)
Sulaiman At Taimiy berkata, “Al Ahnaf berkata, “Ada tiga pada diriku yang tidak kusebut kecuali untuk dijadikan pelajaran, yaitu: aku tidaklah mendatangi pintu penguasa kecuali jika aku dipanggil, aku tidak akan bercampur dengan dua orang sampai keduanya menggabungkan diriku dengan mereka, dan aku tidak menyebut seorang yang bangun dari sisiku kecuali dengan kebaikan.”  (Siyar A’lamin Nubala 4/92)
Sikap iffah para ulama
Abdurrazzaq berkata, “Aku mendengar Nu’man bin Az Zubair Ash Shan’ani menceritakan, bahwa Muhammad bin Yusuf atau Ayyub bin Yahya pernah mengutus seseorang menemui Thawus dengan membawa 700 dinar atau 500 dinar. Utusan itu diberi pesan, “Jika Syaikh (Thawus) mau mengambilnya, maka sang Amir (gubernur) akan berterima kasih kepadamu dan akan menghadiahkanmu pakaian.” Maka utusan itu segera menyerahkannya kepada Thawus Al Janad. Utusan itu ingin jika Thawus sudi menerimanya, namun ternyata ia menolaknya. Ketika Thawus lengah, maka utusan itu memasukkan uang itu ke lubang angin di rumah Beliau, lalu utusan itu pergi dan mengatakan kepada orang banyak, “Dia (Thawus) telah mengambilnya. Suatu hari, mereka mendengar kabar yang tidak mengenakkan tentang Thawus. Maka sang Amir berkata, “Kirim utusan lagi kepadanya, dan katakan kepadanya supaya mengembalikan uang yang diberikan kepadanya.” Utusan itu pun mendatangi beliau dan berkata, “Mana uang yang dikirim Amir kepadamu?” Thawus menjawab, “Aku tidak pernah menerimanya sedikit pun.” Utusan itu pun pulang, dan mereka mengetahui bahwa beliau adalah orang yang jujur. Maka mereka mengutus lagi utusan pertama, lalu datang kepada Thawus dan berkata, “Mana harta yang kubawa kepadamu wahai Abu Abdurrahman?” Beliau menjawab, “Apakah aku pernah menerimanya darimu?” Ia menjawab, “Memang tidak.” Kemudian utusan ini melihat ke tempat dimana ia meletakkan uang itu. Ia menjulurkan tangannya, ternyata masih ada kantong uang itu yang ternyata telah diselubungi sarang laba-laba, lalu ia membawanya lagi kepada mereka.” (Siyar A’lamin Nubala 5/40)
Dari Ma’mar bin Sulaiman, dari Furat bin As Sa’ib, dari Maimun bin Mihran ia berkata, “Ada tiga hal yang jangan sampai engkau menguji dirimu dengannya: (1) Janganlah engkau menemui penguasa meskipun engkau bisa mengatakan, “Aku akan suruh dia menaati Allah,” (2) Jangan engkau dengarkan ucapan Ahli Bid’ah, karena kamu tidak mengetahui ucapannya yang menempel di hatimu, dan (3) Jangan menemui seorang wanita meskipun engkau berasalan, “Saya akan mengajarkan kitabullah kepadanya.” (Siyar A’lamin Nubala 4/77)
Katsir bin Yahya meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata, “Sulaiman bin Abdul Malik datang ke kota Madinah, ketika itu Umar bin Abdul Aziz bertugas di sana. Ia shalat Zhuhur berjamaah di masjid, lalu membuka pintu kamar Al Maqshurah di masjid itu dan bersandar di mihrabnya sambil menghadapkan wajahnya ke arah orang banyak. Tiba-tiba ia melihat Shafwan bin Sulaim. Ia bertanya kepada Umar, “Siapa orang ini? Aku belum pernah melihat orang yang lebih berwibawa daripadanya.” Ia menjawab, “Shafwan.” Maka Sulaiman berkata kepada pelayannya, “Tolong, ambilkan kantong yang berisi 500 dinar.” Setelah uang itu diambilkan, ia  berkata kepada pelayannya, “Bawalah uang ini dan serahkan kepada orang yang berdiri (shalat) itu.” Maka pelayan ini mendatanginya dan duduk di samping Shafwan yang sedang shalat. Setelah Shafwan mengucapkan salam, ia menengok ke arah pelayan itu dan bertanya, “Apa keperluan Anda?” Pelayan itu menjawab, “Amirul Mukminin mengatakan agar engkau menggunakan uang ini untuk keperluanmu sewaktu-waktu dan untuk keperluan keluargamu.” Shafwan berkata, “Bukan aku orang yang diperintahkan Sulaiman untuk diberikan uang itu.” Pelayan mengatakan, “Bukankah engkau Shafwan bin Sulaim?” Ia menjawab, “Betul.” Pelayan menjawab, “Kalau begitu, benar uang ini kuberikan kepadamu.” Shafwan berkata, “Kembalilah, dan periksalah perintahnya.” Pelayan itu pun pergi berlalu, sementara Shafwan mengambil kedua sandalnya dan keluar. Sejak saat itu, Shafwan tidak pernah terlihat sampai Sulaiman meninggalkan Madinah.”  (Siyar A’lamin Nubala 5/368)
Ibnu Syaudzab menceritakan, bahwa gubernur Basrah pernah membagi-bagikan uang kepada para qari’ di negerinya. Ia mengirimkan pula uang itu kepada Malik bin Dinar dan diterimanya. Maka Ibnu Wasi’ bertanya kepadanya, “Apakah engkau menerima hadiah mereka?” Ia menjawab, “Silahkan tanya kepada orang-orang yang belajar di majlisku.” Mereka berkata, “Wahai Abu Bakar, ia gunakan uang itu untuk membeli budak kemudian membebaskannya.” Ibnu Wasi berkata, “Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, apakah hatimu saat ini seperti keadaannya semula?” Ia menjawab, “Tidak. Malik hanyalah seeokor keledai, yang layak baginya beribadah kepada Allah seperti Muhammad bin Wasi.” (Siyar A’lamin Nubala 6/120)
Abdullah bin Khubaiq berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Janad, telah menceritakan kepada kami Atha bin Muslim, ia berkata, “Saat Al Mahdi diangkat menjadi khalifah, ia mengutus seseorang kepada Sufyan agar mau menghadap kepadanya. Ketika Sufyan menemuinya, Al Mahdiy melepaskan cincinnya dan melemparkan kepadanya sambil berkata, “Wahai Abu Abdillah! Ini cincinku, maka bertugaslah melayani umat ini dengan bimbingan Al Qur’an dan As Sunnah.” Lalu Sufyan mengambil cincin itu dengan tangannya seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau mengizinkan aku untuk berbicara?” –- Ubaid bin Janad bertanya kepada Atha’, “Apakah ia menyebut ‘Amirul Mukminin’ kepadanya?” Atha’ menjawab, “Ya.” – Sufyan melanjutkan kata-katanya, “Apakah aku mendapatkan jaminan keamanan jika aku berbicara?” Khalifah menjawab, “Ya.” Sufyan berkata, “Janganlah engkau mengutus seseorang kepadaku sampai aku datang kepadamu. Dan jangan berikan apa pun kepadaku sampai aku memintanya.” Maka Khalifah pun marah dan hendak menghukumnya, tetapi sekretarisnya berkata, “Bukankah engkau telah memberikan jaminan keamanan kepadanya?” Khalifah menjawab, “Ya.” Maka ketika Sufyan keluar dan kawan-kawannya mengerumuninya sambil berkata, “Mengapa engkau menolak tawaran Khalifah, padahal dia menyuruhmu bertugas melayani umat ini dengan bimbingan  Al Qur’an dan As Sunnah.” Akan tetapi Sufyan menganggap jalan pikiran mereka tidak memahami tindakannya. Setelah itu, Sufyan segera berangkat menuju ke kota Basrah.” (Siyar A’lamin Nubala 7/262).
Al Hasan bin Ar Rabi’ berkata, “Ketika Ibnul Mubarak hendak meninggal dunia dalam safar, ia berkata, “Aku ingin memakan bubur gandum.” Namun kami tidak menemukannya kecuali milik seorang laki-laki yang bekerja untuk pemerintah. ia bersama kami dalam satu perahu, lalu kami beritahukan hal itu kepada Abdullah (Ibnul Mubarak), maka ia berkata, “Tinggalkanlah!” Akhirnya ia meninggal dunia dan belum sempat memakannya.” (Siyar A’lamin Nubala 8/411)
Dari Fudhail bin Iyadh ia berkata, “Ibnul Mubarak pernah ditanya, “Siapakah manusia itu?” Ia menjawab, “Para ulama.” Beliau ditanya lagi, “Siapakah para raja itu?” Ia menjawab, “Orang-orang yang zuhud.” Beliau ditanya lagi, “Siapakah orang-orang yang hina itu?” Ia menjawab, “Yaitu orang yang mencari makan dengan cara menjual agamanya.” (Shifatush Shofwah 4/140)
Dari Ahmad bin Jamil Al Marwaziy ia berkata, “Pernah disampaikan kepada Abdullah bin Al Mubarak, bahwa Ismail bin Ulayyah ditugaskan mengurus sedekah, maka Ibnul Mubarak menuliskan surat kepadanya,
يَا جَاعِلَ العِلْمِ لَهُ بَازِياً ... يَصْطَادُ أَمْوَالَ المَسَاكِيْنِ
احْتَلْتَ لِلدُّنْيَا وَلَذَّاتِهَا ... بِحِيْلَةٍ تَذْهَبُ بِالدِّيْنِ
فصرت مجنونًا بها بعدما ... كُنْتَ دَوَاءً لِلمَجَانِيْنِ
أَيْنَ رِوَايَاتُكَ فِي سَرْدِهَا ... عَنِ ابْنِ عَوْنٍ وَابْنِ سِيْرِيْنِ
أَيْنَ رِوَايَاتُكَ فِيْمَا مَضَى ... فِي تَرْكِ أَبْوَابِ السَّلاَطِيْنِ
إِنْ قُلْتَ أُكْرِهْتُ فَمَاذَا كَذَا ... زَلَّ حِمَارُ العِلْمِ فِي الطِّيْنِ
Wahai orang yang menjadikan ilmunya hanya sebagai elangnya
Yang digunakan untuk memangsa harta-harta orang miskin
Kamu telah membuat makar untuk dunia dan kenikmatannya
Dengan mengorbankan ajaran agama
Sehingga engkau menjadi laki-laki yang gila
Padahal engkau sebelumnya penyembuh bagi orang-orang yang gila
Di mana lagi hadits-hadits yang engkau riwayatkan
Dari Ibnu Aun dan Ibnu Sirin
Di manakah riwayat-riwayat dan pendapat
Tentang bahayanya mendekati pintu penguasa
Jika engkau beralasan, “Aku terpaksa melakukannya,” maka itu tidak bisa diterima
Keledai ilmu telah tergelincir di dalam lumpur.” (Shifatush Shofwah 4/140 dan Siyar A’lamin Nubala 8/411, 412)
Dari Suhnun, ia pernah berkata, “Mencari makan masih mungkin meskipun miskin, namun tidak mungkin mencari makan dengan munjual ilmu. Pecinta dunia itu buta tidak diterangi oleh ilmu. Alangkah buruknya seorang ulama yang mendatangi penguasa. Demi Allah, aku tidaklah mendatangi penguasa kecuali setelah keluar darinya aku segera memeriksa diriku, ternyata diriku telah terkontaminasi. Kalian menyaksikan sendiri bahwa diriku menentang keinginan para penguasa, dan aku menerima konsekwesi buruk dari mereka sebagai akibatnya. Demi Allah, aku tidak pernah menerima apa pun dari mereka, dan tidak pula memakai pakaian mereka.” (Siyar A’lamin Nubala 12/65).
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab  Aina Nahnu min Akhlaqis salaf  oleh Marwan bin Musa

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger