Terjemah Bulughul Maram (9)

Senin, 22 April 2024

 

بسم الله الرحمن الرحيم



Terjemah Bulughul Maram (9)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut lanjutan terjemah Bulughul Maram karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan buku ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Dalam menyebutkan takhrijnya, kami banyak merujuk kepada dua kitab; Takhrij dari cetakan Darul ‘Aqidah yang banyak merujuk kepada kitab-kitab karya Syaikh M. Nashiruddin Al Albani rahimahullah, dan Buluughul Maram takhrij Syaikh Sumair Az Zuhairiy –hafizhahullah- yang kami singkat dengan ‘TSZ’.

بَابُ اَلْحَيْضِ

Bab Haidh

149-عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: , إِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r "إِنَّ دَمَ اَلْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ, فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي مِنَ اَلصَّلَاةِ, فَإِذَا كَانَ اَلْآخَرُ فَتَوَضَّئِي, وَصَلِّي" -  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ, وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِم ٍ

149.          Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Sesungguhnya Fathimah binti Abu Hubaisy seorang wanita yang terkena istihadhah (darah penyakit), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya darah haidh itu berwarna hitam yang sudah dikenal, apabila demikian maka berhentilah melakukan shalat, namun jika tidak demikian maka berwudhu dan shalatlah.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim, namun di anggap munkar oleh Abu Hatim)[i]

150- وَفِي حَدِيثِ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ: , لِتَجْلِسْ فِي مِرْكَنٍ, فَإِذَا رَأَتْ صُفْرَةً فَوْقَ اَلْمَاءِ, فَلْتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَالْعَصْرِ غُسْلاً وَاحِدًا, وَتَغْتَسِلْ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ غُسْلاً وَاحِدًا, وَتَغْتَسِلْ لِلْفَجْرِ غُسْلاً, وَتَتَوَضَّأْ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ -

150.          Sedangkan dalam hadits Asma’ binti Umais dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, “Hendaknya ia duduk di atas wadah, apabila dilihatnya ada warna kuning di atas air, maka mandilah untuk shalat Zhuhur dan ‘Ashar sekali mandi, dan mandi untutk shalat Maghrib serta Isya sekali mandi, dan mandilah untuk shalat Subuh sekali mandi, ia cukup wudhu di antara itu.”[ii]

151- وَعَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: , كُنْتُ أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيرَةً شَدِيدَةً, فَأَتَيْتُ اَلنَّبِيَّ r أَسْتَفْتِيهِ, فَقَالَ: "إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنَ اَلشَّيْطَانِ, فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ, أَوْ سَبْعَةً, ثُمَّ اِغْتَسِلِي, فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ, أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ, وَصُومِي وَصَلِّي, فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُكَ, وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ اَلنِّسَاءُ, فَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي اَلظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي اَلْعَصْرَ, ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ تَطْهُرِينَ وَتُصَلِّينَ اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرِ جَمِيعًا, ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ اَلْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ اَلْعِشَاءِ, ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ اَلصَّلَاتَيْنِ, فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ اَلصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ. قَالَ: وَهُوَ أَعْجَبُ اَلْأَمْرَيْنِ إِلَيَّ -  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَحَسَّنَهُ اَلْبُخَارِيّ ُ

151.            Dari Hamnah binti Jahsy radhiiyallahu ‘anha ia berkata, “Aku pernah terkena darah istihadhah yang banyak sekali, lalu aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta penjelasannya, maka Beliau menjawab, “Itu tidak lain gangguan dari setan, maka cukup kamu merasakan haid selama 6 hari atau 7 hari, lalu mandilah. Apabila telah bersih, shalatlah selama 24 atau 23 hari, puasalah dan shalatlah karena hal itu cukup buatmu. Juga lakukanlah (perkirakan masa) haidmu seperti haidnya wanita yang lain, apabila kamu sanggup mentakkhirkan shalat Zhuhur dan mengedepankan shalat ‘Ashar lalu mandi ketika bersih kemudian kamu shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan dijama’ (maka lakukanlah-pent), juga kamu sanggup mentakkhirkan shalat Maghrib dan mengedepankan shalat Isya lalu mandi dan menggabungkan kedua shalat itu maka lakukanlah. Dan ketika Subuh kamu mandi lalu shalat,” Beliau lanjutkan sabdanya, “Itulah hal yang paling aku sukai di antara dua cara.” (Diriwayatkan oleh lima orang selain Nasa’i, dan dishahihkan oleh Tirmidzi serta dihasankan oleh Bukhari)[iii]

152- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; , أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ شَكَتْ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ r اَلدَّمَ, فَقَالَ: "اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ, ثُمَّ اغْتَسِلِي" فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ كُلَّ صَلَاةٍ -  رَوَاهُ مُسْلِم ٌ

152.            Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Ummu Habibah binti Jahsy pernah mengeluhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang darah, maka Beliau bersabda, “Diamlah (yakni tidak shalat) selama kamu masih berhaidh, lalu mandilah (yakni setelah selesai haidh-pent), setelah itu Ummu Habibah mandi untuk masing-masing shalat. (Diriwayatkan oleh Muslim)[iv]

153- وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: , وَتَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ -  وَهِيَ لِأَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ.

153.          Dalam riwayat Bukhari disebutkan, “Berwudhulah untuk masing-masing shalat.” Ini pun ada dalam riwayat Abu Dawud dan lainnya dari jalan yang lain.[v]

154- وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: , كُنَّا لَا نَعُدُّ اَلْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ اَلطُّهْرِ شَيْئًا -  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ, وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَه ُ

154.            Dari Ummu ‘Athiyyah radhiiyallahu ‘anha ia berkata, “Kami tidak memperdulikan sedikit pun warna keruh dan kuning setelah suci (dari haidh).” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Dawud, lafaz ini adalah lafaz Abu Dawud)[vi]

155- وَعَنْ أَنَسٍ t , أَنَّ اَلْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ اَلْمَرْأَةُ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ r "اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا اَلنِّكَاحَ" -  رَوَاهُ مُسْلِم ٌ

155.            Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa orang-orang Yahudi apabila isteri mereka haidh, mereka tidak mau makan bersamanya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu selain jima’.” (Diriwayatkan oleh Muslim)[vii]

156- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: , كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ, فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

156.            Dari Aisyah radhiiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku memakai kain, Beliaupun kemudian menyentuhkan kulitnya denganku padahal aku sedang haidh.”  (Muttafaq ‘alaih)[viii]

157- وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنِ اَلنَّبِيِّ r -فِي اَلَّذِي يَأْتِي اِمْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ- قَالَ: , يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ, أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ -  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ وَابْنُ اَلْقَطَّانِ, وَرَجَّحَ غَيْرَهُمَا وَقْفَه ُ

157.            Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yaitu tentang seorang laki-laki yang mendatangi (baca: menggauli) istrinya dalam keadaan haidh, Beliau bersabda, “Ia harus bersedekah satu dinar atau setengah dinar.” (Diriwayatkan oleh lima orang, dan dishahihkan oleh Hakim dan Ibnul Qattan, namun selain keduanya menguatkan bahwa hadits ini mauquf)[ix]

158- وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ? -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي حَدِيث ٍطَوِيْلٍ

158.            Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah apabila wanita haidh tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa?” (Muttafaq ‘alaih dalam hadits yang panjang)[x]

159-وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: , لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ r "اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ اَلْحَاجُّ, غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي" -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي حَدِيث ٍطَوِيْلٍ

159.            Dari Aisyah radhiiyallahu ‘anha ia berkata, “Ketika kami mendatangi sarif, aku haidh, makan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah semua yang dilakukan oleh orang yang haji, namun kamu jangan thawaf di baitullah sampai kamu suci.” (Muttafaq ‘alaih dalam hadits yang panjang)[xi]

160- وَعَنْ مُعَاذٍ t , أَنَّهُ سَأَلَ اَلنَّبِيَّ r مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنِ اِمْرَأَتِهِ, وَهِيَ حَائِضٌ? قَالَ: "مَا فَوْقَ اَلْإِزَارِ" -  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَضَعَّفَه ُ

160.            Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bagian istri yang halal bagi suami, ketika istrinya haidh? Beliau menjawab, “Yang di atas kain .” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, namun ia mendhaifkannya)[xii].

161- وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: , كَانَتِ اَلنُّفَسَاءُ تَقْعُدُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ r بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ -  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَاللَّفْظُ لِأَبِي دَاوُد َ

161.            Dari Ummu Salamah radhiiyallahu ‘anha ia berkata, “Wanita yang nifas di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya duduk (tidak shalat) sampai 40 hari.” (Diriwayatkan oleh lima orang selain Nasa’i, lafaz ini adalah lafaz Abu Dawud)[xiii]

162- وَفِي لَفْظٍ لَهُ: , وَلَمْ يَأْمُرْهَا اَلنَّبِيُّ r بِقَضَاءِ صَلَاةِ اَلنِّفَاسِ -  وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم ُ

162.            Sedang dalam lafaznya yang lain disebutkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mereka mengqadha’ shalat.” (dishahihkan oleh Hakim)[xiv]

Bersambung….

Wa shallallahu 'alaa Nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Alih Bahasa:

Marwan bin Musa


[i] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (282) dalam Ath Thaharah, Nasa’i (216) dalam Al Haidh wal Istihadhah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban (2/318), Hakim (1/174), Baihaqi (1/325), Hakim mengatakan, "Shahih sesuai syarat Muslim”, lihat Al Irwaa' (204) .

[ii] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (296) dalam Ath Thaharah, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihnya (296), isnadnya shahih sesuai syarat Muslim, demikian juga kata Hakim dan Adz Dzahabiy, juga dishahihkan oleh Ibnu Hazm. [Al Misykaat (562)].

Dalam TSZ disebutkan lafaz pertamanya,

عن أسماء بنت عميس، قالت: قلت: يا رسول الله. إن فاطمة بنت أبي حبيش استحيضت منذ كذا وكذا، فلم تصل، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "سبحان الله! هذا من الشيطان، لتجلس..." الحديث.

Dari Asma’ binti Umais ia berkata: Aku mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fathimah binti Abi Hubaisy terkena istihadhah (darah penyakit) sejak hari ini dan itu, ia akhirnya tidak shalat, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Subhaanallah! Ini dari setan, hendaknya ia duduk…dst.”

[iii] Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (287) dalam Ath Thaharah, Tirmidzi (128), Ahmad (26928), Ibnu Majah (627), Hakim (1/172, 173), dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud (287). [Al Irwaa’ (188)] .

[iv] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (334) dalam Al Haidh.

[v] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (228) dalam Al Wudhu’, Abu Dawud (286) dalam Ath Thaharah, Ibnu Majah (624) dalam Ath Thaharah wa sunanuhaa dari Fathimah binti Jahsy.

[vi] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (326) dalam Al Haidh, Abu Dawud (307) dalam Ath Thaharah.

[vii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (302) dalam Al Haidh, lihat Al Misykaat (545).

[viii] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (301) dalam Al Haidh, Muslim (293) dalam Al Haidh.

[ix] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (264) dalam Ath Thaharah, Tirmidzi (136) dalam Abwaabuth Thaharah, Nasa’i (289) dalam Ath Thaharah, Ibnu Majah (640) dalam Ath Thaharah wa Sunanuhaa, Ahmad (2033), Hakim (1/172) dalam Al Mustadrak, ia menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabiy. Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud (264).

[x] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (304) dalam Al Haidh, dan Muslim (79) dalam Al Iman.

Dalam TSZ disebutkan lengkap hadits tersebut dalam riwayat Bukhari yaitu sbb,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

Dari Abu sa’id Al Khudriy, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adh-ha atau Idul Fithri menuju lapangan, Beliau melalui kaum wanita, Beliau bersabda, “Wahai kaum wanita, bersedekahlah karena aku melihat kamu penghuni neraka terbanyak,” mereka pun bertanya, “Mengapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kamu sering melaknat dan kufur kepada suami, juga aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya serta menghilangkan akal laki-laki yang kokoh daripada kalian,” merekapun berkata, “Apa tanda kurang agama dan akal pada kami, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bukankah persaksian wanita setengah persaksian laki-laki.” Mereka menjawab, “Ya”, kata Beliau, “Itu tanda kurang akalnya, juga bukankah apabila wanita haidh tidak shalat dan puasa?” Mereka menjawab, “Ya”, maka kata Beliau, “Itulah tanda kurang agamanya.”

[xi] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (307) dalam Al Haidh, Muslim (1211) dalam Al Iman.

[xii] Dha’if, diriwayatkan oleh Abu Dawud (213) dalam Ath Thaharah, dan didha'ifkan oleh Al Albani dalam Dha’iful Jami (5115) dan Al Misykaat (552).

[xiii] Hasan shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (311), Tirmidzi (139), Ibnu Majah (648) dalam Ath Thaharah, Daruquthni (48), Darimiy (955), Ahmad (26052), Al Albani mengatakan, “Hasan shahih”, lihat Shahih Abi Dawud (311) dan Al Irwaa’ (201) .

[xiv] Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (312) dalam Ath Thaharah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihnya, diriwayatkan juga oleh Hakim (1/175) dan ia menshahihkannya, Baihaqi juga meriwayatkan darinya  (1/341) dari jalan Katsir bin Ziyad. Nawawiy berkata dalam Al Majmu’ (2/525), “Hadits shahih isnadnya”, dan disepakati oleh Adz Dzahabiy, namun hadits tersebut menurut Al Albani hasan isnadnya. [Al Irwaa’: 201)].

Khutbah Idul Fitri 1445 H (Renungan Setelah Ramadhan)

Senin, 08 April 2024

 بسم الله الرحمن الرحيم



Khutbah Idul Fitri 1445 H

Renungan Setelah Ramadhan

Oleh: Marwan Hadidi, M.Pd.I

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ . يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ . أَمَّا بَعْدُ :  

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laailaahaillallahu wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puja dan puji syukur kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat-nikmat-Nya yang telah Dia berikan kepada kita, terutama adalah nikmat beragama Islam, yang merupakan satu-satunya agama yang hak (benar) dan sebagai jalan hidup yang lurus yang membawa kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian pula atas nikmat taufiq, yakni bantuan dan pertolongan-Nya kepada kita sehingga kita dapat menjalankan ajaran-ajaran Islam seperti mengisi bulan Ramadhan dengan berbagai macam amal saleh di antaranya adalah berpuasa, shalat tarawih, membaca Al Qur’an, bersedekah, dan amal saleh lainnya, walaa haula walaa quwwata illaa billah.

Semoga Allah menerima amal ibadah yang kita lakukan selama di bulan Ramadhan, Aamin Yaa Rabbal ‘aalamiin.

Shalawat dan salam tidak lupa kita sampaikan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang telah mengeluarkan manusia –dengan izin Allah- dari berbagai kegelapan kepada cahaya; dari gelapnya kebodohan kepada cahaya ilmu, dari gelapnya kemusyrikan kepada cahaya tauhid, dari gelapnya kekafiran kepada cahaya iman, dan dari gelapnya kemaksiatan kepada cahaya ketaatan.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Puasa yang Allah Azza wa Jalla syariatkan kepada kita tujuannya adalah agar kita menjadi insan yang bertakwa. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (QS. Al Baqarah: 183)

Dalam ibadah puasa itulah kita dididik oleh Allah Azza wa Jalla agar terbiasa melaksanakan perintah-Nya, terbiasa menjauhi larangan-Nya, terbiasa beribadah kepada-Nya, dan terbiasa menahan nafsu yang keadaannya sering mendorong seseorang kepada perbuatan maksiat sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla ketika menceritakan ucapan Nabi Yusuf alaihis salam,

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Qs. Yusuf: 53)

Oleh karenanya, seorang yang berpuasa memiliki pengendalian diri dan tidak mudah memperturutkan hawa nafsunya lagi, dekat dengan ketakwaan dan siap menjadi orang-orang yang bertakwa.

Kalau kita melihat ada pencuri, pemabuk, pezina, pemain judi, dan pelaku kejahatan lainnya; itu semua karena tidak mempunyai pengendalian diri disebabkan mereka tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan yang sebenarnya melatih mereka agar memiliki pengendalian diri.

Di samping itu, dalam puasa seseorang merasakan penderitaan lapar dan haus, sehingga ia pun merasakan beban yang dialami saudara-saudaranya yang fakir dan miskin, yang membuatnya memiliki kepekaan dan kepedulian, sehingga ia tidak bakhil untuk bersedekah dan membantu mereka.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Oleh karena yang diinginkan Allah dari hamba-hamba-Nya setelah menjalankan puasa adalah menjadi manusia yang bertakwa, maka tidak sepatutnya bagi kita setelah menjalankan ibadah puasa kita kembali lagi berbuat maksiat, seperti meninggalkan shalat, enggan melaksanakannya dengan berjamaah, durhaka kepada orang tua, memutuskan tali silaturrahim, bermusuhan, menyakiti tetangga, tidak menjaga lisannya dari dusta, ghibah (membicarakan orang lain), namimah (mengadu domba), memfitnah, menghina orang lain, dan melepas jilbab bagi wanita atau mengumbar aurat, serta melakukan maksiat lainnya, wal ‘iyadz billah.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Sesungguhnya tanda diterimanya ibadah dari seorang hamba adalah ketika hamba tersebut diberi taufik oleh Allah untuk mengerjakan ibadah-ibadah lainnya, mengerjakan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi maksiat. Maka perhatikanlah dirimu, apakah selanjutnya engkau berada di atas ketaatan atau berada di atas kemaksiatan?

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Berpuasa di bulan Ramadhan dan mengisinya dengan berbagai ibadah juga dimaksudkan agar setelah Ramadhan berlalu, kita menjadi terbiasa mengisi hidup dengan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, dimana untuk tujuan inilah manusia diciptakan, yaitu untuk menyembah hanya kepada Allah saja dan mengisi hidup di dunia dengan beribadah, sebagaimana firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Qs. Adz Dzaariyat: 56)

Hendaknya kita ketahui, bahwa perintah beribadah ini, tidak hanya di bulan Ramadhan, tetapi terus diperintahkan di setiap hari, di setiap bulan, di setiap tahun, hingga ajal menjemput. Allah Ta'ala berfirman,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. Al Hijr: 99)

Ibadah adalah amanah yang diembankan kepada manusia, yang nantinya setelah mereka menjalankannya, maka Allah akan membalas mereka dengan balasan yang besar, yaitu masuk ke dalam surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan. Penghuninya akan hidup kekal dan tidak akan mati, akan senang dan tidak akan sedih, akan sehat dan tidak akan sakit, akan muda terus dan tidak akan tua, dan akan bahagia tidak akan sengsara. Sebaliknya, barang siapa yang meninggalkan ibadah (menyembah selain Allah dan enggan mengisi hidupnya dengan beribadah) serta lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka nerakalah tempatnya, wal 'iyadz billah. Allah Azza wa Jalla berfirman,

فَأَمَّا مَنْ طَغَى (37) وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (38) فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (39)

“Adapun orang yang melampaui batas,--Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,--Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (Qs. An Naazi’at: 37-39)

Saudaraku, surga yang penuh dengan kenikmatan itu adalah mahal. Penghuninya akan mendapatkan kenikmatan yang sempurna dan kekal abadi. Apa saja yang diinginkan mereka ada di hadapan tanpa perlu bekerja dan berusaha. Namun, apakah kenikmatan ini diberikan kepada orang-orang yang malas beribadah atau enggan melakukannya; ketika ada seruan yang memanggilnya untuk beribadah (seperti seruan untuk shalat), lalu ia tidak mau menyambutnya, bahkan memilih bersenang-senang dengan dunia dan berleha-leha.

Fikirkanlah wahai saudaraku, untuk memperoleh dunia saja, seperti harta, kekayaan, rumah, kendaraan, dan semisalnya seseorang tidak mungkin memperolehnya dengan santai, tiduran, dan bermalas-malasan. Akankah kesenangan itu diperoleh dengan bermalas-malasan, tidur, dan bersantai sambil menunggu rezeki turun dari langit? Tidak wahai saudaraku, ini semua harus dikejar dengan berusaha dan bekerja. Lalu bagaimana dengan kenikmatan surga, akankan diperoleh dengan bermalas-malasan? Ini pun sama, engkau harus mengejarnya dengan beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala, menyambut seruan-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, tidak cukup hanya keinginan di hati dan ucapan di lisan.

Ibadah juga yang membedakan antara manusia dan hewan. Manusia dibebankan beribadah, sedangkan hewan tidak. Maka jika manusia tidak beribadah kepada Allah, ia seperti hewan, sehingga  disebut manusia hewani.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Di antara hikmah memperbanyak ibadah pada bulan Ramadhan adalah agar bekal kita menghadapi kematian semakin banyak. Bukankah setelah kematian terdapat safar yang panjang?

Abu Darda rahimahullah berkata, “Kalau sekiranya salah seorang di antara kamu hendak safar, bukankah ia perlu menyiapkan bekal yang bermanfaat baginya?” Kawan-kawannya berkata, “Ya.” Abu Darda berkata, “Safar pada hari Kiamat lebih panjang, maka bawalah bekal yang bermanfaat bagimu. Berhajilah untuk menghadapi perkara-perkara besar, berpuasalah di siang hari yang panas untuk menghadapi panasnya hari kebangkitan, shalatlah di kegelapan malam untuk menghadapi kegelapan kubur, dan bersedekahlah secara sembunyi-sembunyi untuk menghadapi hari yang sulit.”

Demikian juga di antara hikmah Allah Azza wa Jalla syariatkan berbagai macam ibadah di bulan Ramadhan adalah agar menjadi batu loncatan bagi kita untuk beramal saleh pada bulan-bulan setelahnya, agar kita memulai lembaran baru kita dengan amal saleh, dan agar kita dapat berkaca dan menengok ke bulan Ramadhan, bahwa sejatinya kita mampu mengisi waktu-waktu kita dengan beribadah sebagaimana kita mampu melakukannya di bulan Ramadhan.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Setelah kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kita mengagungkan-Nya, Dia berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)

Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa takbiran tersebut dimulai dari malam hari tanggal satu Syawwal hingga shalat Ied ditunaikan berdasarkan ayat ini. Sedangkan mayoritas para ulama berpendapat, bahwa takbir pada 'Idul Fitri dimulai dari keluarnya menuju tempat shalat hingga ditunaikan shalat 'Idul Fithri. Ini adalah untuk Idul Fitri. Adapun untuk Idul Adh-ha takbiran dimulai dari Subuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dan tetap terus bertakbir hingga Ashar akhir hari tasyriq. Adapun bacaan takbirnya di antaranya:

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَاِالهَ اِلَّا اللهُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ

Artinya: Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Dan segala puji untuk Allah.  (Ini adalah takbir Ibnu Mas’ud. dan tidak mengapa ucapan takbirnya 3 kali).

Dalam membaca takbir ini, dianjurkan dikeraskan sebagai syi’ar Islam, namun tidak dengan alat musik. Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Umar berangkat pada hari Idul Fithri dan Idul Adh-ha dengan mengeraskan takbirnya, sampai tiba di lapangan, ia pun tetap terus bertakbir sampai imam datang.

Adapun wanita, maka cukup dengan mensirr(pelan)kan suaranya ketika bertakbir.

Dianjurkan pula berangkat menuju lapangan shalat Ied menempuh jalan yang berbeda dengan pulangnya, serta dianjurkan pula dengan berjalan kaki. Ini semua merupakan syi’ar Islam di hari raya.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Sekarang kita berkumpul di tempat ini, di antara kita ada yang menjadi atasan dan ada yang menjadi bawahan, ada yang masih muda dan ada yang sudah tua, ada yang kaya dan ada yang miskin, ada laki-laki dan ada wanita, setelah itu kita akan pulang ke rumah kita masing-masing. Ingatlah, kita juga akan berkumpul lagi di suatu tempat dengan jumlah yang lebih banyak dari ini, yaitu di padang mahsyar untuk dihisab (diperiksa amal) oleh Allah Azza wa Jalla. Selanjutnya masing-masing kita akan pulang, ada yang pulangnya ke neraka –wal 'iyadz billah-, dan ada yang pulang ke surga. Maka dari itu, hendaklah masing-masing kita memperhatikan dirinya; apakah dia sudah berada di atas ketaatan kepada Allah ataukah masih berada di atas kemaksiatan? Jika dirinya bergelimang di atas kemaksiatan, maka berarti dia telah bersiap-siap pulang ke neraka dan menjadi bahan bakarnya, dan jika dirinya berada di atas ketaatan, maka berarti dia telah bersiap-siap pulang ke surga. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Terj. QS. Al Hasyr: 18)

Kita meminta kepada Allah agar tempat kembali kita adalah ke surga dan tidak ke neraka. Maka perbaikilah amal kita dari sekarang dan jangan menunda!

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Sebagian manusia ketika diajak menaati Allah dan Rasul-Nya masih berat melakukannya, padahal itu pertanda bahwa dirinya tidak mendapatkan taufiq dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Dia berfirman,

“Barang siapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menjalankan agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (QS. Al An’aam: 125)

Ada pula yang belum siap menaati Allah dan Rasul-Nya karena menyangka dirinya masih jauh dari kematian; dirinya masih muda dan sehat, di samping ingin memanfaatkan masa muda dengan bersenang-senang.

Kita katakan kepadanya, “Saudaraku, sesungguhnya kematian jika datang tidak melihat orang yang dijemput, baik muda atau tua, masih sehat atau sedang sakit, ia bisa mendatanginya. Dan jika kematian telah datang kepadanya sedangkan masa mudanya hanya ia isi dengan bersenang-senang dan hal yang sia-sia, maka dia akan menyesal sekali; saat itu ia pun sadar. Padahal ketika kematian telah datang, maka penyesalan dan sikap sadar tidak berguna lagi, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan pada hari itu sadarlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi kesadaran itu baginya.--Dia mengatakan, "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (QS. Al Fajr: 23-24)

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Meskipun bulan Ramadhan telah berlalu, bulan di mana amal saleh dilipatgandakan pahalanya. Namun kesempatan meraih pahala yang banyak masih ada, di antaranya adalah dengan melanjutkan berpuasa selama enam hari di bulan Syawwal, di mana bagi mereka yang melakukannya akan dianggap seperti berpuasa setahun. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ, ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ 

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun.” (HR. Jama’ah Ahli Hadits selain Bukhari dan Nasa’i)

Dalam melakukannya lebih utama secara berturut-turut, namun boleh tidak berturut-turut.

Para ulama mengatakan, “Dianggap seperti berpuasa setahun adalah karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan, bulan Ramadhan dihitung sepuluh bulan, sedangkan enam hari di bulan Syawwal dihitung dua bulan.”

Sungguh sangat beruntung orang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk berpuasa sebelum waktunya habis.

Kita meminta kepada Allah Azza wa Jalla petunjuk-Nya, taufiq-Nya, keteguhan di atas agama-Nya, dan wafat di atas Islam serta meenjadikan amalan terbaik kita pada bagian akhirnya, umur terbaik kita pada bagian akhirnya, dan hari terbaik kita adalah hari ketika kita bertemu dengan-Nya, Allahumma aamiin.

Kita juga memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar Dia menurunkan pertolongan-Nya kepada saudara-saudara kita di Palestina, menghilangkan penderitaan mereka, memenangkan para mujahidnya, menerima syuhada mereka, dan membinasakan kaum Yahudi dan para sekutunya dari kalangan kaum kuffar dan munafikin.

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَّمَدٍ ، وَعَلَى آلِ بَيْتِهِ ، وَعَلَى الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ . اَللَهُمَّ إِنّا لاَ نَمْلِكُ لِأَهْل ِفِلِسْطِيْنَ إِلاَ الدُعَاءَ فَيَا رَبُّ لاَ تَرُدَّ لَنَا دُعَاءً وَ لاَ تُخَيّبْ لَنَا رَجَاءً. اَللَّهُمَّ كُنْ لًهُمْ عَوْناً وَنَصِيْراً. الَلَّهُمَّ انْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّهِمْ. اَللَّهُمَّ أَسْبِغْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَ سَلاَمًا . اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ, اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْيَهُوْدَ وَمَنْ عَاوَنَهُمْ مِنَ الْكُفَارِ وَالْمُنَافِقِيْنَ.   اَللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِناً مُطْمَئِناًّ وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلاَةَ أُمُوْرِنَا ، وَاجْعَلْ وِلاَيَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضَالِّيْنَ وَلاَ مُضِلِّيْنَ ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Marwan Hadidi, M.PdI

Telegram: wawasan_muslim

Blog: http://wawasankeislaman.blogspot.com
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger